Pelajar NTT Masuk Sekolah Jam 5 Pagi
Pelajar NTT Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

05:00 minggu ini WITA mulai menerapkan kebijakan pendaftaran di beberapa sekolah menengah di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), meskipun ditentang oleh berbagai kalangan.
Pada Selasa (28/11), Dinas Pendidikan NTT kembali mengubah waktu masuk sekolah dari pukul 05.00 WITA menjadi 05.30 WITA.
Seorang siswa Kelas XII SMAN 6 Kupang mengaku kesulitan tidur dan bangun pagi untuk mengikuti jadwal baru. Pada saat yang sama, orang tua juga menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan dan kesehatan anak-anak mereka. Wakil Gubernur NTT Josef Sae Noi membela gagasan "sekolah jam 5 pagi" yang diajukan oleh Gubernur Viktor Laiskodat. Namun, dia meminta kepada dinas pendidikan dan kepala sekolah untuk memperhatikan keadaan siswa, termasuk memastikan siswa cukup tidur.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bersikukuh agar kebijakan itu dihapuskan, dengan alasan kurangnya penelitian ilmiah dan minimnya keterlibatan orang tua.SMAN 6 Kupang merupakan sekolah pertama yang menerapkan jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA untuk siswa kelas XII. Pembelajaran di kelas, lanjutnya, baru dimulai pukul 06.00 WITA padahal waktu masuk sudah dilaksanakan pukul 05.00 WITA. Kendala lain adalah transportasi ke sekolah. Angkutan umum di Kota Kupang adalah bemo atau angkot yang tidak beroperasi setiap saat, terutama pada jam-jam tersebut. Saat fajar, jalanan masih gelap dan sepi. Tidak semua titik memiliki penerangan jalan umum.
Edita keberatan dengan kebijakan yang menurutnya diterapkan secara tiba-tiba ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi menjelaskan, ada 10 SMA Negeri dan SMK di Kota Kupang yang menjadi contoh pelaksanaan masuk sekolah pada pukul 5 pagi. Mereka adalah SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 6, SMKN 1, SMKN 2, SMKN 3, SMKN 4, dan SMKN 5.
Ia menyebut penerapan masuk jam 5 pagi ini bersifat uji coba. Pemerintah kemudian akan menyeleksi dua sekolah unggulan dari 10 sekolah tersebut setelah evaluasi yang dilakukan selama satu bulan dari 26 Februari sampai 27 Maret. Indikator evaluasi ini ialah nilai akademik, nilai karakteristik siswa, literasi, yang mana sesuai dengan hasil tes Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK). Ditanya wartawan tentang kajian ilmiah yang melandasi kebijakan ini, Linus menjawab: “Pemerintah Indonesia sudah melakukan kajian dari Orde lama, Orde Baru, tetapi reformasi untuk Nusa Tenggara Timur berjalan begitu pelan maka kita butuh percepatan di kelas XII yang akan menempuh UTBK.”
Linus juga mengatakan akan mengantisipasi kekhawatiran orang tua terhadap putri mereka. Pemprov akan meminta aparat keamanan menjaga jalur rawan siswi. “Kami berkonsultasi dan berkoordinasi dengan aparat keamanan seperti Polda Polres dan Korem untuk meminimalisir kekhawatiran orang tua,” ujarnya.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mendorong agar kebijakan ini dibatalkan. Retno menduga kuat kebijakan ini tidak didasari kajian akademis yang mendalam, minim keterlibatan publik, dan belum teruji. “Bukan kebijakan dulu, masih diuji. Tapi bahwa ini uji coba dulu agar kebijakan ini bisa disempurnakan, kalau memang berdasarkan pelibatan publik, sudah ada, kajiannya sudah ada… Saya menduga bahwa semua unsur itu tidak ada," kata Retno setelah kebijakan ini diumumkan, FSGI banyak menerima pesan WhatsApp. berisi keluhan dari orang tua dan guru. Keluhan dari orang tua umumnya menyangkut kekhawatiran terkait keselamatan, transportasi, dan memburuknya kesehatan anak akibat kurang tidur. Selain itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan berdampak pada kesehatan orang tua. Anak-anak mulai sekolah pada jam 5 pagi berarti orang tua harus bangun lebih awal dari itu, berpotensi lebih mengganggu waktu tidur mereka.
“Mereka kaget karena belum pernah merasakan wacana seperti ini, tiba-tiba terjadi. Jadi mereka belum siap,” ujar Retno yang juga mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dia mengatakan komentar wakil gubernur tentang sekolah yang memastikan siswa tidur delapan jam tidak realistis. “Itu bukan kewenangan sekolah. Yang bisa sekolah lakukan adalah sesuatu yang bisa diukur, sesuatu yang bisa dikontrol. Kalau di rumah, sekolah tidak bisa mengontrolnya,” ujar Retno.
Ivan Shahril, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan pihaknya berkoordinasi erat dengan pemerintah daerah dan dinas pendidikan NTT, serta kementerian dalam negeri terkait masalah tersebut. Implementasi Kebijakan ini.